Gagal Mudik: Refleksi Demografi Indonesia
Posted by Unknown on 20:09 with No comments
Kisah gagal mudik yang ku alami terjadi pada
sehari sebelum Idhul Adha, 25 Oktober 2012. Hari itu ku awali dengan kuliah,
pagi hari harus sudah bangun untuk belajar sebelum UTS. Maklum, lagi
semangat-semangatnya. UTS kulalui dengan baik, entah jawaban yang ku tulis baik
atau tidak. Semoga ikhtiarku membuahkan hasil baik, Amin. Mata kuliah kedua
berjalan biasa-biasa saja, dan kuliah ketiga kosong. Perjalanan mudik yang
semula direncanakan jam 15.30, aku ajukan menjadi jam 13.00. Tiba di biro
perjalanan jam 13.30. Awalnya aku mengira yang kulihat adalah antrian BLT atau
pembagian sembako gratis. Ternyata salah, ini adalah antrian pembelian tiket
bus. Sedikit gentar, apakah harus ku lanjutkan perjuangan ini.
Ku pilih biro ini karena tempat inilah yang
sepertinya masih memberi harapan padaku untuk mudik. Setelah ku dengar bahwa
kompetitor biro serupa dan PT. KAI juga telah menjual habis tiketnya.
Terik matahari di area Kalibanteng (daerah
Semarang yang terkenal panas saat siang maupun malam hari-red) ku tantang, tak
apalah, itung-itung ku bayangkan bule yang sedang berjemur di Kuta Bali. Waktu
berjalan amat lambat, selambat langkah kakiku. Kini aku tahu seperti apa siput
berjalan, ku rasakan saat mengantri disini.
Waktu menunjukkan pukul 14.50, antrian
berhenti lama hingga sekitar satu jam berlalu. Ternyata pihak biro mencoba
memastikan apakah masih ada armada yang bisa diberangkatkan, mereka menunggu
sirkulasi armada yang baru akan datang dari wilayah barat. Aku tetap bertahan,
dengkul sudah menginginkan hal baru, karena dari tadi hanya berdiri.
Antrian bertambah panjang dibelakangku,
sebagian dari mereka yang tidak sabar mencoba merangsek ke depan dan mencoba
mencari orang yang bisa dititipi membeli tiket. Aturan dari biro menyebutkan
bahwa satu orang memiliki kuota pembelian tiket hanya empat. Aku pikir, sistem
kuota dan sikap orang-orang yang tidak mau mengikuti antrian amat tidak adil. Aku
yang sedari tadi antri, merasa tersakiti oleh mereka yang menerabas antrian
kemudian menitipkan uang untuk dibelikan tiket pada barisan depan. Aku terpaksa
berbohong, aku bilang “sudah penuh” pada mereka yang mencoba meminta dibelikan
tiket. Menurutku, itu bukan memberikan pertolongan namun pengingkaran atas
hakikat antrian. Agama mengajarkan tolong-menolong dalam kebaikan. Apakah
dengan menyetujui permintaan para penerabas itu baik?
Posisi saya kian membaik, sekian jengkal lagi
sampai pada loket. Namun, antrian kembali berhenti. Lagi, pihak biro mencoba
memastikan ketersediaan armada. Amat menyakitkan, armada siap diberangkatkan
jam 19.30. Lalu, aku akan sampai di rumah jam berapa? Masih adakah kendaraan
umum yang menuju rumahku? Karena bus ini hanya sanggup mengantarkanku sampai
Tegal. Masih membutuhkan waktu sekitar dua jam lagi untuk sampai dirumahku. Hal-hal
inilah yang terus bergulat dalam arena pikiranku. Aku menyadari keberadaan
rumahku yang berada di penjuru negeri, dan fisik ini sebenarnya telah memberi
jawaban. Pilihan rasionalku mengatakan untuk menyudahi perjuangan ini. Kembali
sajalah pada peraduanku.
Finally, ku langkahkan kaki menuju parkiran dan
mulai menaiki si jemprit (panggilan sayang untuk motorku). Sayonara, mari
pulang. Diperjalanan, aku seolah menjadi seorang korban iklan, akulah
‘masyarakat konsumsi’, seperti yang diceritakan para teoretisi kritis. Aku
tersugesti bahwa ketika kita sedang bad mood, kita perlu minum minuman
tertentu, seketika kita serasa berada di kebun teh dengan segala fantasinya.
Aku mampir ke salah satu swalayan, dan betapa segarnya minuman itu saat ku
tenggak. Selamat para kaum kapitalis, kalian telah berhasil menggiring saya
untuk memenuhi ambisi kalian.
Lebih jauh tentang kasus ini, kita dapat
menyoroti bahwa bangsa ini tengah mengalami permasalahan demografis yang sangat
krusial. Betapa tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di negeri ini.
Ironisnya, kondisi ini tidak diikuti dengan pertumbuhan alat pemenuh kebutuhan
yang sebanding. Idealnya, pertumbuhan penduduk harus selalu diikuti dengan
pertumbuhan alat-alat pemenuh kebutuhan manusia. Data tentang laju pertumbuhan
penduduk dapat disaksikan di bawah ini.
No
|
Wilayah
|
Tahun
|
||
1971-1980
|
1980-1990
|
1990-2000
|
||
1
|
Jawa
Tengah
|
1,64
|
1,18
|
0,94
|
2
|
Indonesia
|
2,31
|
1,98
|
1,49
|
Tabel 1. Laju Pertumbuhan Penduduk Jawa
Tengah dan Indonesia
Sumber: BPS
Data BPS menyebutkan bahwa di tahun 1990-2000
laju pertumbuhan penduduk mencapai 1,49. Angka ini cukup rendah dibanding dua
puluh tahun sebelumnya, masing-masing pada rentang waktu tahun 1971-1980 dan
1980-1990 laju pertumbuhan penduduk mencapai 2,31 dan 1,98. Saya sengaja hanya
mencantumkan propinsi Jawa Tengah, dengan alasan kasus yang saya paparkan
terjadi di Semarang, Jawa Tengah. Laju pertumbuhan
penduduk Jawa Tengah sebenarnya dapat dikatakan lebih rendah bila dibanding
propinsi-propinsi lain di Indonesia. Namun, yang perlu dicermati, kita jangan
terlena dengan data di atass, mari kita cermati data berikut ini.
No
|
Wilayah
|
Jumlah
Penduduk
|
||||
1971
|
1980
|
1990
|
1995
|
2000
|
||
1
|
Jawa
Tengah
|
21.877.136
|
25.372.889
|
28.520.643
|
29.653.266
|
31.228.940
|
2
|
Indonesia
|
119.208.229
|
147.490.298
|
179.378.946
|
194.754.808
|
206.264.595
|
Tabel 2. Jumlah Penduduk Jawa Tengah dan
Indonesia
Sumber: BPS
Jika melihat tabel 2 kita baru dapat
tercengang dan berkata “WOW”. Betapa banyaknya penduduk Indonesia. Secara laju
pertumbuhan memang mengalami penurunan, ini sebagai bukti suksesnya program KB.
Namun, tetap saja jumlah penduduk Indonesia bertambah banyak. Ini terkait
dengan angka kelahiran dan angka kematian yang tidak berimbang.
Tabel 1 dan 2 menujukkan bahwa betapa
tingginya tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia. Bayangkan bila jumlah
penduduk itu dibandingkan dengan sumber daya yang ada untuk mencukupi
kebutuhan, salah satunya aspek transportasi. Berapa luas keseluruhan jalan yang
dapat diakses, berapa jumlah kendaraan bermotor yang dimiliki masyarakat. Tak
pelak fakta ini kerap kali menimbulkan kemacetan, khususnya di daerah
perkotaan. Selain itu, pada saat-saat hari libur atau hari raya, masalah
ketersediaan kendaraan umum tidak mencukupi untuk mengakomodir tingginya
permintaan masyarakat. Kondisi ini salah satunya disebabkan jumlah penyedia
jasa transportasi masih sedikit. Selain itu, pengurangan armada kereta api,
dihilangkannya kereta ekonomi untuk jurusan ke daerah-daerah tertentu juga
menyebabkan membludaknya permintaan akan jasa transportasi. Masyarakat terpaksa
mencari alternatif ketika mereka tidak dapat membeli tiket kereta api karena
habis.
Yang perlu dicermati kemudian adalah, tingginya
permintaan terhadap jasa transportasi bersifat sangat tentatif. Masyarakat akan
sangat banyak membutuhkan layanan jasa transportasi hanya pada saat-saat hari
raya atau libur panjang, di luar itu permintaan layanan jasa transportasi
wajar-wajar saja. Ini sekaligus membutkikan betapa tingginya sikap
primordialisme masyarakat Indonesia. Kemanapun dan sejauh apapun mereka,
ketempat asal/tempat dilahirkanlah mereka akan kembali. Faktor-faktor tersebut
mungkin yang menyebabkan para pengembang sedikit berpikir panjang untuk membuka
dalam jumlah banyak usaha jasa layanan transportasi.
Kasus yang saya alami hanyalah sebagian kecil
contoh betapa tingginya gap antara pertumbuhan penduduk yang tinggi dengan
kemampuan negara untuk menyediakan alat-alat pemenuh kebutuhan masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar