Apa Beda Kita Dengan Mereka?
Posted by Unknown on 08:56 with No comments
Enam puluh tujuh tahun
Indonesia merdeka, paling tidak itulah jumlah tahun bangsa kita tercinta ini
bebas berekspresi sampai ditulisnya artikel ini. Hitungan waktu yang cukup lama
bagi suatu bangsa untuk membangun peradaban yang maju. Mari kita lakukan
analisis terhadap fakta ini, seperti apa fakta berbicara, meruntuhkan konsep
ideal atas sebuah kemajuan bangsa. Bagaimana perkembangan pembangunan peradaban
bangsa ini dibanding dengan bangsa-bangsa lain di dunia (khususnya bangsa
barat)? Tentunya kita sudah mengerti apa jawabnya, dan sepertinya kita sepakat
untuk menyimpulkan bahwa bangsa ini tertinggal beberapa langkah oleh
bangsa-bangsa barat. Dan kiranya tidak perlu lagi dijelaskan dalam bidang
kehidupan apa saja bangsa ini tertinggal. Ketertinggalan ini bukan berarti
bahwa....
tertinggal dalam segala aspek kehidupan, kehidupan ini amatlah kompleks. Ada
beberapa aspek kehidupan dari bangsa Indonesia yang lebih baik dibanding
bangsa-bangsa barat, dan tentunya ada aspek kehidupan dimana bangsa barat lebih
baik. Di awal pembahasan, saya ingin menekankan bahwa konten artikel ini bukan
berarti bermaksud mendiskreditkan bangsa sendiri dan menganggap superior bangsa
lain. Hendaknya kita bisa berpikir jernih dan mencoba mengadopsi nilai-nilai
bangsa barat yang positif. Bukankah sudah ditekankan oleh agama, bahwa kita
hendaknya mengambil yang baik dan tinggalkan yang tidak baik.
Pertanyaan yang muncul
selanjutnya adalah mengapa ketertinggalan bangsa ini terjadi? Apa penyebabnya? Secara
kasat mata, kita bisa menyaksikan seperti apa etos bangsa Indonesia dan bangsa
barat. Ada nilai-nilai budaya yang berbeda, yang dianut oleh bangsa Indonesia
(sebagai bangsa timur pada umumnya) dan bangsa barat. Bangsa Indonesia secara
kolektif bisa disimpulkan memiliki pandangan hidup yang mementingkan kehidupan
kerohanian, mistik, pikiran prelogis, keramah-tamahan, dan kehidupan kolektif.
Sedangkan bangsa barat disimpulkan memiliki pandangan hidup yang mementingkan
kehidupan material, pikiran logis, hubungan berdasarkan azas guna, dan
individualisme. Namun, kesimpulan ini bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak,
karena realita di lapangan bisa berbicara sebaliknya. Kehidupan ini amatlah
relatif. Bahkan beberapa ahli mengatakan bahwa kebudayaan bersifat relatif,
tergantung dari mana kebudayaan itu dilihat.
Saya mencoba menjawab
pertanyaan diatas dengan menggunakan perspektif yang dikemukakan oleh Francis
L.K. Hsu, seorang sarjana Amerika keturunan Cina. Dalam sebuah karangannya yang
berjudul Psychological Homeostatis and
Jen, yang dimuat dalam majalah American
Anthropologist (Koentjaraningrat, 2000 : 123). Sekilas kita membaca bahwa
terdapat analisis psikologis dalam upaya menjawab pertanyaan yang saya utarakan
sebelum ini. Dan memang, Hsu mengkombinasikan analisisnya melalui beberapa
disiplin ilmu, diantaranya psikologi, sosiologi, antropologi, dan filsafat. Analisis
Hsu tentang kepribadian bangsa timur dan bangsa barat ini setidaknya akan memberikan
salah satu alasan mengapa terjadi ketertinggalan pada bangsa Indonesia. Berdasarkan
perspektif Hsu, manusia memiliki alam jiwa yang unik, alam jiwa manusia sebagai
makhluk sosial budaya. Kemudian dilanjutkan bahwa alam jiwa manusia tersebut
memiliki delapan daerah yang berwujud seolah-olah seperti lingkaran-lingkaran
konsentrikal di sekitar diri pribadinya.
Konsepsi Hsu tentang
delapan alam jiwa manusia dapat disaksikan melalui peraga di bawah ini.
Keterangan:
7. Alam Tak Sadar
6. Alam Sub Subur
5. Kesadaran yang tak dinyatakan
4. Kesadaran tang
dinyatakan
3. Lingkungan hubungan
karib
2. Lingkungan hubungan
berguna
1. Lingkungan hubungan
jauh
0. Dunia luar
Lingkaran nomor 7 dan 6
adalah area dalam jiwa individu yang disebut “tak sadar” dan “sub sadar”. Kedua
area itu berada di daerah pedalaman dari alam jiwa individu, dan terdiri dari
materi-materi yang telah terdesak ke dalam sehingga tidak disadari lagi oleh
individu-individu bersangkutan. Materi-materi yang tersimpan di area lingkaran
nomor 7 dan 8 sering sudah tidak utuh lagi, beberapa bagian hilang karena lupa,
dan sudah tidak tersusun secara rapi, runtut sesuai dengan logika berpikir yang
biasa dilakukan individu dalam kehidupan sehari-hari. Namun, suatu saat materi
itu dapat muncul lagi dari alam bawah sadar, dan akan menimbulkan beberapa
kesan bagi individu bersangkutan.
Lingkaran nomor 5 disebut
“kesadaran yang tidak dinyatakan”. Dalam area ini terdapat ide-ide yang secara sadar dihasilkan oleh pergulatan pikir
pribadi, namun ide-ide ini tidak terungkap kepada siapa pun. Asumsinya,
ketidakterungkapkan ini disebabkan oleh (1) sikap takut salah, takut dimarahi;
(2) sungkan untuk menyatakan ide, karena didasari perasaan bahwa pemilik ide
tidak yakin akan mendapat respon yang baik dari individu lain; (3) malu; (4) tidak
menemukan kata-kata atau perumusan pernyataan yang cocok untuk mengungkapkan
ide. Kalau kita lihat keempat asumsi tersebut, kita akan mengingat tiga mentalitas
masyarakat kita (masyarakat Jawa pada khususnya) yang dikemukakan oleh Clofford
Geertz, yakni isin, wedi, dan sungkan. Mentalitas inilah yang menjadikan bangsa ini kurang
berkembang, masyarakat ragu dan tidak berani melakukan spekulasi untuk
mengaktualisasikan ide menjadi sesuatu yang lebih berharga.
Lingkaran nomor 4
dinamakan “kesadaran yang dinyatakan”. Dalam area ini berisi ide-ide, gagasan,
dan perasaan-perasaan yang dapat dinyatakan kepada individu lain, yang dapat
dengann mudah diterima dan ditanggapi. Wujudnya berupa rasa simpati, marah,
benci, puas, senang, gembira, bahagia, konsep mengenai hidup, dan pengetahuan.
Konsep yang disebut terakhir masih menjadi pekerjaan rumah bagi sebagian besar
masyarakat kita, karena minat baca yang rendah. Output akan sesuai dengan
input.
Lingkaran nomor 3 disebut
“area hubungan karib”, konten area ini berupa konsepsi tentang orang-orang,
binatang-binatang, atau benda-benda yang oleh individu diajak bergaul secara
karib. Segala hal yang masuk dalam area ini merupakan wahana bagi individu
untuk mencurahkan segala rasa yang dijumpai dalam hidup. Mitra untuk
berlindung, partner ngobrol, curhat, berbagi suka dan duka, serta berbagi kasih
sayang. Orang tua, saudara kandung, kerabat dekat, kekasih hati, sahabat karib,
biasanya merupakan penghuni area nomor 3. Selain itu, penghuni area nomor 3
juga bisa berupa ide-ide atau ideologi-ideologi yang dapat menjadi sasaran rasa
kebaktian penuh dari jiwa individu. Ketika ideologi tertentu sesuai dengan
konsep berpikir, dapat mewakili perasaan batin, dan dapat memenuhi kebutuhan
untuk aktualisasi diri, maka ideologi tersebut dapat dipastikan akan menempati
area nomor 3 dalam jiwa individu.
Lingkaran nomor 2 disebut
“lingkungan hubungan berguna”, area ini ditandai oleh hilangnya sikap karib,
melainkan lebih pada hubungan azas guna. Serupa dengan hubungan antara penjual
dan pembeli, supir dan penumpang, partner bisnis, dan sebagainya.
Lingkaran nomor 1 disebut
“lingkungan hubungan jauh”, area ini berisi sikap dan persepsi individu
terhadap orang, benda, ideologi, dan adat yang ada dalam lingkungan kehidupan
sehari-hari, namun tidak memiliki arti atau pengaruh signifikan terhadap
individu bersangkutan. Semisal, bagi
nenek-nenek kunjungan tim Inter Milan pada pertengahan bulan Mei tidak memiliki
arti penting yang akan mempengaruhi kehidupannya.
Lingkaran nomor 0 disebut
“lingkaran dunia luar”. Konsep nomor 1 dan 0 pada intinya sama, perbedaan
terletak pada penyikapan individu terhadap aspek di luar dirinya. Individu
cenderung bersikap masa bodoh, tidak peduli terhadap situasi dunia luar yang
begitu jauh dari individu bersangkutan.
Dari delapan area diatas,
antara area nomor 4 dan 3 terdapat garis tebal yang memisahkan. Batas garis
tebal menggambarkan batas dari alam jiwa individu atau dinamakan kepribadian,
yakni materi-materi yang terdesak masuk ke dalam area tak sadar dan sub sadar,
pengetahuan, dan pemahaman terhadap kebudayaan masyarakat tempat individu
tersebut berada. Kata lain untuk menyebut area nomor 7, 6, 5, dan 4 adalah
“ego”.
Dari deskripsi tentang
delapan area alam jiwa individu, terdapat satu area yang memberikan perbedaan
pada mentalitas masyarakat timur dan barat. Yakni area nomor 3. Analisisnya
adalah, arena nomor 3 merupakan area hubungan karib, masyarakat barat banyak
mengalami kegagalan dalam memenuhi kebutuhan menjalin hubungan karib dengan
orang-orang terdekatnya. Orang tua, keluarga, teman, atau pun kekasih hatinya.
Jika ini terjadi, individu akan merasa hampa dalam menjalani hidup. Orientasi
materialistis masyarakat barat telah menggerakkan mereka untuk bekerja keras
dan selalu sibuk dengan pekerjaan. Sehingga banyak diantara pasangan suami
istri yang bercerai, yang jadi korban adalah anak-anak mereka. Anak-anak bangsa
barat mengalami kegagalan dalam tahapan sosialisasi yang pertama dalam siklus
hidup seorang individu, yakni sosialisasi pada tataran keluarga. Ia akan terus
mencari tempat untuk berlindung, melampiaskan segala rasa sehingga ia merasa
nyaman. Kadang, binatang-binatang atau benda-benda lah yang menjadi sasaran.
Disamping itu, mereka akhirnya mencoba keluar dari area nomor 3 dan mulai
menjalin interaksi dengan orang-orang pada lingkungan nomor 2, 1, dan bahkan 0.
Tidak adanya sekelompok orang yang secara otomatis dapat dianggap sebagai
lingkungan karib membuat sebagian besar orang-orang barat berupaya keras
menjalin mitra. Kegigihan dalam menjalin hubungan asas guna inilah yang
menjadikan mereka sukses. Hubungan diantara mereka berupa mitra kerja, hubungan
bisnis, dan sebagainya. Kegigihan itu juga dapat berupa pencarian atas hal-hal
yang terkait dengan ilmu pengetahuan, gigih mengeksplorasi lautan, meneliti
alam, uji coba laboratorium, dan menemukan sesuatu yang baru. Semua itu
dilakukan untuk perikemanusiaan (sikap Florence Nightingale).
Berbeda dengan apa yang
terjadi pada bangsa-bangsa timur, dimana hubungan karib terjalin dengan amat
baik. Bahkan terdapat stigma bahwa tidak akan bingung hidup di desa walau tidak
memiliki uang sepeserpun, karena masih punya orang-orang disekitar yang akan
memberi penghidupan. Yang terjadi kemudian adalah, sebagian besar orang
Indonesia tidak memiliki sikap gigih karena salah satu kebutuhannya yang pokok
sudah terpenuhi, yakni lingkungan karib. Masyarakat hidup mengambang dengan
selaras, puas, dan bahagia dengan apa yang dimilikinya, menikmati keindahan
hidup sekitarnya. Kalaupun terjadi bencana, musibah, celaka, atau kesengsaraan,
mereka masih mencoba melihat unsur-unsur keindahannya. Karena masyarakat
memiliki sikap “nrimo ing pangdum”
atau sikap selalu bersyukur atas apa saja yang terjadi disekitar lingkungan
hidupnya.
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. 1997. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
0 komentar:
Posting Komentar